Pemkot Samarinda Targetkan PAD Rp1,2 Triliun di 2026 Akibat Pemotongan Dana Transfer Pusat

![]()
SAMARINDA – Pemerintah Kota Samarinda merespons rencana pemotongan dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) dalam RAPBN 2026 dengan menetapkan target ambisius untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) bersama Badan Anggaran (Banggar) DPRD Samarinda tengah merancang strategi komprehensif guna mempertahankan stabilitas finansial daerah.
Ketua TAPD sekaligus Sekretaris Kota Samarinda, Hero Mardanus, menegaskan bahwa meskipun besaran pemotongan belum ditetapkan secara definitif, antisipasi dampak terhadap keuangan daerah sudah mulai dilakukan. Kondisi ini terutama akan memengaruhi berbagai proyek pembangunan yang selama ini bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.
Dalam rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2026, APBD Kota Samarinda ditetapkan sebesar Rp5,3 triliun, mengalami peningkatan dari RAPBD Murni 2025 yang bernilai Rp4,9 triliun. Namun, realisasi anggaran tersebut memerlukan diversifikasi sumber pendapatan baru.
Untuk mengkompensasi defisit akibat berkurangnya TKDD, Hero menetapkan target PAD tahun depan mencapai Rp1,2 triliun. Strategi ini diharapkan dapat memastikan keberlangsungan program-program yang sebelumnya dibiayai melalui dana transfer pusat.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menjadi fokus utama dalam upaya peningkatan PAD. Melalui Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 11 Tahun 2025, pemerintah daerah telah mengatur penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dengan batas maksimal kenaikan PBB sebesar 25 persen.
“Tidak akan berlebihan seperti yang terjadi di daerah lain,” tegas Hero.
TAPD juga mengeksplorasi berbagai opsi optimalisasi PAD lainnya, mencakup retribusi daerah dan pemanfaatan aset daerah secara maksimal. Inisiatif ini bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap dana transfer pusat yang kini semakin terbatas.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) Samarinda, Ananta Fathurrozi, menekankan pentingnya penerapan kebijakan efisiensi anggaran. Menurutnya, kondisi ini menuntut pemerintah daerah untuk mengoptimalkan seluruh potensi PAD yang tersedia.
Meskipun alokasi untuk infrastruktur tetap dipertahankan pada angka 40 persen sesuai ketentuan, beberapa program lainnya berpotensi mengalami pengurangan untuk menjaga sustainabilitas pos belanja pegawai dan pelayanan publik esensial.
“Arahan Pak Wali jelas, gaji pegawai dan PPPK tidak boleh terganggu,” ungkap Ananta.
Tantangan semakin berat mengingat Dana Bagi Hasil (DBH) yang biasanya mencapai Rp1,6 triliun diproyeksikan akan menyusut menjadi hanya Rp800 miliar pada 2026. Penurunan hingga separuh dari nilai normal ini diprediksi akan memberikan dampak signifikan terhadap program pembangunan daerah.
“Artinya separuh hilang, dan itu berpengaruh besar terhadap program pembangunan,” pungkasnya.(*).

Tinggalkan Balasan