Pengawasan Pelayaran di Nunukan Amburadul, Dermaga Tanpa Izin Sebabkan Korban Jiwa

![]()
Inspirasimedia.com, NUNUKAN – Kondisi kacau pengawasan transportasi laut di kawasan perairan Kabupaten Nunukan kembali mendapat perhatian serius dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nunukan. Permasalahan ini diangkat dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dipimpin Komisi I DPRD dengan mengundang Dinas Perhubungan (Dishub), Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas IV Nunukan, serta Satuan Polisi Perairan dan Udara (Sat Polairud) Polres Nunukan.
Isu pokok yang dibahas adalah ketidakjelasan legalitas Dermaga Haji Putri, sebuah pelabuhan tradisional yang masih beroperasi tanpa izin resmi hingga saat ini. Ironisnya, dermaga tersebut sudah mengakibatkan sejumlah korban meninggal dunia karena diabaikannya aspek keselamatan pelayaran.
Forum diskusi ini merupakan respons atas aspirasi tertulis dari Persatuan Penambang Desa Bambangan, Kecamatan Sebatik Barat, yang mendesak adanya kepastian hukum bagi kegiatan pelayaran di dermaga dimaksud. Surat tersebut juga menekankan urgensi jaminan keselamatan bagi masyarakat yang menggunakan layanan transportasi laut di kawasan itu.
Andi Mulyono, Ketua Komisi I DPRD Nunukan, memandu diskusi dengan sikap tegas sambil mempertanyakan pencapaian kerja semua instansi yang hadir.
“Negara telah memberikan wewenang, namun masyarakat mempertanyakan, apa yang telah dikerjakan? Sebab kenyataannya, pelanggaran masih berlanjut, kecelakaan hampir berulang. Kami ingin mengetahui, jangan cuma bersifat formal,” tegas Andi.
Markus Patanduk, Kepala Bidang Prasarana Perhubungan Dishub Nunukan, mengakui bahwa pengawasan pelayaran selama ini belum berhasil menekan pelanggaran yang terjadi di lapangan. Dishub, menurutnya, secara berkala mengadakan operasi setiap tiga bulan untuk meneliti dokumen kapal, daya tampung penumpang, serta perlengkapan keselamatan. Akan tetapi, kenyataan di lapangan memperlihatkan pelanggaran masih banyak terjadi.
“Saya pribadi pernah mengalami secara langsung. Kapal berkapasitas tujuh penumpang diisi sembilan orang, bahkan masih hendak ditambah lagi. Itu jelas membahayakan, tapi kesadaran mereka memang kurang,” tutur Markus.
Dijelaskannya, ketiadaan legalitas dermaga menyebabkan Dishub tidak mempunyai landasan hukum untuk mengadakan pengawasan secara formal. Tidak tersedia retribusi, tidak ada tiket, karena keberadaan dermaga itu belum mendapat izin resmi dari pemerintah daerah.
“Seluruh kegiatan hanya berdasar kesepakatan masyarakat, bukan dalam regulasi formal. Karena status lahan dan kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) belum jelas, maka proses perizinannya pun terhambat,” paparnya.
Dishub menekankan bahwa dua hal penting yaitu kepastian status lahan dan kesesuaian dengan RTRW harus terpenuhi dahulu sebelum proses legalisasi dermaga dapat berlanjut ke tahap teknis bersama KSOP dan instansi terkait lainnya.
Di sisi lain, Wiwin Karama, Komandan Patroli KSOP Kelas IV Nunukan, menambahkan bahwa masalah legalitas tidak cuma terjadi di Dermaga Haji Putri, melainkan juga di berbagai dermaga tradisional lain di wilayah Nunukan.
“Kami hanya dapat memproses legalisasi bila ada pengajuan resmi. Tanpa itu, pengawasan kami terbatas. Padahal bila dermaga dilegalkan, masyarakat dapat merasakan keuntungannya secara langsung, karena akan ada pengawasan dan penataan yang sesuai aturan,” ungkap Wiwin.
Dia menyampaikan bahwa sebelumnya KSOP rutin mengadakan patroli gabungan dengan Polairud. Namun, perubahan regulasi membuat ruang gerak instansinya terbatas.
“Sejak perubahan regulasi, kewenangan kami dipangkas. Tapi bila nanti, per 31 Desember 2025, kewenangan dikembalikan, kami siap melanjutkan pengawasan. Karena keselamatan pelayaran tidak bisa ditawar,” katanya.
Wiwin menjelaskan bahwa inti pengawasan tetap sama, meskipun Undang-Undang berubah dari Nomor 17 menjadi Nomor 66. Namun, ketidakjelasan kewenangan membuat upaya pengawasan tidak maksimal.
Sementara itu, IPDA Zainal Yusuf, Kanit Gakkum Sat Polairud Polres Nunukan, secara terbuka menilai perilaku masyarakat menjadi salah satu faktor utama lemahnya keselamatan pelayaran.
“Sudah sering kami peringatkan, tapi masyarakat tetap bandel. Kapal masih sering overload. Dulu bahkan pernah ada juragan kapal jatuh ke laut karena nekat muat lebih. Alasannya klise, kalau penumpang sedikit, biaya BBM tidak tertutup,” ungkapnya.
Menurut Zainal, masyarakat harus mempunyai kesadaran bahwa keselamatan adalah tanggung jawab bersama. Dia menekankan pentingnya penggunaan pelampung, terutama bagi penumpang yang tidak memiliki kemampuan berenang.
“Jangan sampai menunggu ada korban baru menyesal. Jangan hanya mengandalkan petugas. Pencegahan lebih penting daripada penindakan,” tegasnya.
Dia juga mengingatkan bahwa pelanggaran berat tetap akan diproses hukum. Namun, Polairud berharap asosiasi kapal, agen, dan masyarakat ikut aktif dalam sosialisasi dan pengawasan.
Andi Mulyono menekankan bahwa tarik-ulur kewenangan antarinstansi tidak boleh menjadikan keselamatan masyarakat sebagai korban. Dia mengingatkan pentingnya sinergi antarlembaga dalam menyelesaikan persoalan yang telah berlarut-larut ini.
“Kalau hanya saling lempar aturan, masyarakat yang jadi korban. Kami butuh sinergi konkret. Kalau semua pihak masih bekerja parsial, jangan salahkan DPRD kalau nanti kami keluarkan rekomendasi keras,” tegas Andi.
Kondisi ini menggambarkan krisis koordinasi dan lemahnya penegakan aturan dalam sektor keselamatan pelayaran di wilayah perairan Nunukan. Sementara masyarakat terus beraktivitas dengan risiko tinggi, para pemangku kepentingan masih terjebak dalam tumpang tindih kewenangan dan keterbatasan regulasi.(*)

Tinggalkan Balasan