Kebanggaan Dalam Menjalani Profesi Wartawan, Di mana?

Oplus_131072

Loading

Penulis: Ekky Yudhistira

MENJADI seorang wartawan bukanlah suatu hal yang mudah. Banyak sekali tantangan dan cobaan yang harus dilewati. Sehingga tidak sedikit wartawan yang lemah terjerumus dalam pola dan tenggelam dalam sistem yang sebenarnya membenamkan diri dan profesinya dalam kubangan kesalahan. Bukan karena tidak memahami, namun lebih dikarenakan cacat bawaan dalam proses edukasi yang diracik dengan ketidakmampuan dalam memelihara kebanggaan atas profesi yang dimiliki.

Kebanggaan menjadi wartawan bukan karena bisa mengakses berbagai hal secara langsung. Dapat bertemu pejabat, memiliki jejaring elit politik, jajaran orang orang terpandang ataupun sejenisnya. Kebanggaan akan profesi ini muncul tatkala wartawan itu sendiri dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan negara melalui karya jurnalistiknya.

Dewasa ini, perang di dunia wartawan bukan lagi hanya antar “wartawan” namun juga dengan idealisme dan kepentingan perusahaan. Contoh kecil, organisasi wartawan sebagai save house, tank ampibi, serta senapan serbu bagi para penegak pilar demokrasi, malah mempertontonkan terjadinya proses kolusi dalam organisasi wartawan itu sendiri. Ketidaktaatan bahkan pelanggaran pun sering terjadi dan menciderai independensi yang menjadi harga mati.

Seperti terjadi baru baru ini, di tingkat kabupaten, AD/ART organisasi itu diduga sengaja ditabrak demi prosesi “tukar guling” kepemimpinan. Hanya demi status dan jabatan, sistem “barter” ini dilaksanakan untuk memenuhi hasrat dan syahwat personal oknum yang notabene sangat berambisi untuk menduduki jabatan tanpa sadar kemampuan diri. Bahkan diragukan mempunyai arah yang baik bagi organisasi.

Fenomena ini jelas memperlihatkan kerdilnya demokrasi dalam rumah para penegak pilar demokrasi, pencari fakta yang notabene digaungkan sebagai salah satu pilar demokrasi. Ini adalah salah satu contoh kebanggaan yang karam dalam kepentingan. Hal ini, tentunya jika diketahui publik secara langsung juga akan menurunkan marwah, citra, bahkan kepercayaan publik terhadap pers dan organisasi yang menaunginya.

Apa tidak memalukan apabila diketahui, demokrasi dalam tubuh pers sendiri dikebiri oleh kepentingan sedangkan diluar mengkritisi tentang proses demokrasi yang berjalan? Lantas apakah hal seperti ini patut untuk dibiarkan? Bagi sebagian mungkin hal tersebut patut, karena kebanggaan sebagai wartawan yang dimiliki tidak sejalan dengan jiwa dan semangat pers.

Contoh lainnya adalah wartawan yang nyambi sebagai marketing, atau bahkan pemilik media. Apakah mereka dapat menjaga independensi dihadapan kilau rupiah yang musti dijangkau? sebagian kecil saja yang bisa. Sedangkan yang lainnya terseret dalam sistem yang menghanguskan kebanggaan, jati diri, hingga independensi profesi wartawan. Apakah ini realita atau bukan, bisa dilihat di sekitar. Seberapa banyak wartawan yang berani menguliti kejadian, menyampaikan fakta dan berita yang layak dibanding dengan yang hanya memberitakan kisah picisan pejabat yang tengah mencari popularitas.

Atau bahkan realita terkini, wartawan dengan kebanggaan atas profesi yang dijalani juga sudah tak sungkan memihak terhadap salah satu calon, paslon, bahkan parpol. Dalihnya adalah itu pilihan pribadi bukan karena profesi. Itu argumen yang sah sah saja. Namun ada realita yang ditutupinya dalam bayang rupiah atas sikap yang diambil, yakni profesi itulah yang dimanfaatkan.

Tanpa profesi yang digeluti, apakah mungkin dilirik? Apakah masih mempunyai nilai tawar? Tanpa bayang bayang media yang menaungi apakah bakal orang yang mempunyai kepentingan mau merespon kedekatan yang dijalin? Kemungkinan besar tidak, karena tidak ada asas manfaatnya.

Namun sayangnya hal seperti ini yang sering disebut “pembiaran atas keterlanjuran” tak kunjung ditertibkan baik oleh organisasi ataupun lembaga pers yang berdiri dan bercokol di negeri ini. Parahnya lagi, edukasi sebagai salah satu jalan pembekalan dan peningkatan kapasitas pengetahuan wartawan akan profesi yang digeluti juga minim dilakukan. Ibaratnya seperti musafir yang berjalan menyusuri lorong lorong dunia dan hanya bertahan dengan satu jenis makanan. Sehingga akhirnya dia mengalami malnutrisi atau avitaminosis. Karena tubuhnya tidak mendapat asupan gizi dan vitamin yang sempurna.

Disinilah seharusnya peran lembaga dan organisasi pers harus ditunjukkan, bukan dikaburkan karena kepentingan pribadi atau golongan. Jangan sampai kebanggaan yang kebablasan ini meningkat menjadi ketidakteraraturan yang dibiarkan yang dapat berdampak pada rusaknya marwah pers.

Disadari atau tidak, ditengah gencarnya wartawan media mainstream menghajar masalah pertambangan di Republik ini, ada puluhan, ratusan atau bahkan ribuan wartawan yang saat ini mungkin mengalami degradasi dan penyimpangan kebanggaan akan profesi wartawan yang berdampak pada pers itu sendiri. Banyaknya kasus kriminalisasi wartawan juga menjadi salah satu poin teratas yang perlu mendapat perhatian lebih.

Hal ini patut diduga terjadi karena kurangnya kontrol dari organisasi pers yang ada. Kurangnya pendidikan terhadap wartawan, terutama yang berada di pelosok. Sehingga permasalahan tersebut timbul namun tidak tersorot dengan baik. Tentunya hal ini sangat disayangkan apabila terus berlanjut. Kebanggaan akan profesi wartawan lambat laun akan redup sejalan dengan makin berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pers.

Dampak dari hal diatas terlihat dalam paketan kresek merah yang dibingkai iktikad baik perusahaan kepada wartawan. Mie 5 bungkus, gula, beras, dan kawan kawannya dalam menyongsong idul fitri. Hal baik ini juga menandakan seberapa tinggi penghargaan perusahaan terhadap wartawan dan organisasi kewartawanan.

Wartawan yang secara ekonomi mungkin masih jauh dari kata sejahtera. Kemungkinan akan beralih menjadi semi pengusaha atau semi marketing yang hanya fasih menulis advertorial dan menawarkan iklan serta kontrak kerjasama, namun tumpul dalam mengungkap dan mempublikasikan fakta. Lantas, sampai sejauh mana kebanggaan menjalani status wartawan akan terus terdistorsi kepentingan di tahun tahun mendatang?!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini