Dosen Unmul Sebut DPR Kehilangan Sense of Crisis dalam Wacana Kenaikan Gaji

(Foto: Istimewa)

Loading

Inspirasimedia.com, BONTANG – Wacana kenaikan gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus mendapat kritik pedas dari berbagai elemen masyarakat. Kali ini, kritik tajam datang dari akademisi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, Dosen Fakultas Hukum yang menilai rencana tersebut sebagai langkah yang tidak tepat di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih terpuruk.

Herdiansyah menyoroti ketidakpekaan anggota DPR terhadap realitas sosial ekonomi yang dihadapi rakyat Indonesia saat ini. Menurutnya, permintaan kenaikan gaji ini mencerminkan hilangnya kepekaan terhadap krisis yang sedang dialami masyarakat.

“Ini adalah tindakan yang tidak patut, menandakan anggota DPR tidak punya sense of crisis terhadap kondisi rakyatnya yang serba sulit. Lapangan pekerjaan semakin terbatas, sementara angka pengangguran terus meningkat,” ungkapnya, minggu (24/8/2025).

Dosen hukum ini mempertanyakan rasionalitas di balik usulan kenaikan gaji tersebut, terutama ketika masih banyak rakyat yang berjuang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ia menilai terdapat ketidakseimbangan yang mencolok antara kepentingan wakil rakyat dengan kondisi riil masyarakat yang mereka wakili.

“Bagaimana mungkin anggota DPR meminta kenaikan gaji, sedangkan rakyat masih bergelut dengan berbagai kesulitan?” ujarnya.

Herdiansyah menegaskan bahwa DPR seharusnya memahami esensi perannya sebagai representasi rakyat, bahkan dalam konteks filosofis sebagai “pesuruh rakyat”. Ia berpendapat bahwa sangat tidak etis jika para wakil rakyat justru menikmati kehidupan yang lebih sejahtera dibandingkan konstituen yang mereka wakili.

Menurutnya, praktik semacam ini bertentangan dengan filosofi demokrasi yang seharusnya dianut oleh lembaga perwakilan rakyat. Kondisi ini bahkan dipandang sebagai bentuk ironi yang menyakitkan bagi masyarakat.

“Filosofi seperti ini justru tidak kita temukan dalam praktik anggota DPR di Indonesia. Situasi ini bisa dianggap sebagai bentuk penghinaan bagi rakyat, di mana wakil rakyat justru hidup bermewah-mewahan, sementara rakyatnya menderita,” tegasnya.

Akademisi ini juga menganalisis bahwa munculnya diskursus publik mengenai pembubaran DPR merupakan manifestasi dari kekecewaan mendalam masyarakat terhadap kinerja lembaga legislatif. Ia memandang fenomena ini sebagai indikator krisis legitimasi yang sedang dihadapi DPR.

“Kalau kemudian publik meminta DPR dibubarkan, itu adalah ekspresi dari kekecewaan mendalam, karena mereka sudah tidak lagi menjadi representasi atau perwakilan rakyat,” pungkasnya.(*).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini